Rabu, 06 Maret 2013

Fenomena Komunikasi



TUGAS UAS
FENOMENA KOMUNIKASI
Tugas  ini dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS) Matakuliah Teori Komunikasi
Dosen : Dadan Anugrah, M.Si





Hera Erawan
1211405060
Jurnalistik III/B

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI ILMU KOMUNIKASI JURNALISTIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2012



Petunjuk Soal :
1.      Carilah tiga fenomena komunikasi yang terjadi saat ini!
2.      Tentukan teori komunikasi apa yang dapat menjelaskan masing-masing fenomena komunikasi tersebut!
3.      Uraikan secara jelas bagaimana isi teori tersebut dan kaitannya dengan fenomena komunikasi yang telah saudara tentukan!
Ketentuan:
1. Jawaban di ketik menggunakan huruf Time New Roman 12 font
2. Lengkapi jawaban saudara dengan referensi sebanyak-banyaknya
3. Jawaban dikumpulkan menjelang UAS
4. Sertakan daftar pustaka













1.      Fenomena Komunikasi :
Minggu-minggu ini ada sebuah topik yang sedang marak diperbincangkan di televisi, ataupun media massa yang lainnya, yaitu mengenai maraknya oplosan daging babi. Tindakan mengoplos daging babi ke dalam adonan bakso memang tak dilakukan oleh semua pedagang bakso. Hal tersebut hanya dilakukan oleh oknum-oknum pedagang yang tidak bertanggung jawab. Tapi isu-isu yang marak diperbincangkan di media massa tersebut mematikan para pedagang bakso diseluruh penjuru negeri ini, karena meskipun kejadian tersebut hanya terjadi di wilayah Cipete-Jakarta Selatan, tetap saja khalayak merasa segan untuk mengkonsumsi bakso karena terpengaruh oleh tayangan-tayangan di televisi, khususnya berita. Hampir semua masyarakat memperbincangkan isu tersebut.
Untuk menganalisis kasus tersebut, ada 2 teori komunikasi yang dapat menjelaskannya.
1)      Teori Agenda Setting
Agenda Setting Theory pertama kali diperkenalkan oleh Maxwell Mc Combs dan Donald L. Shaw tahun 1973 dalam publikasiya yang bertajuk The Agenda Setting Function of The Mass Media (Tatap muka 10&11 Matakuliah Teori Komunikasi).
Agenda setting menjelaskan begitu besarnya pengaruh media, berkaitan dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada audiens mengenai isu - isu yang penting. Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka kita juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri kita, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali.[1]

                 Dalam teori agenda setting, audiens bersifat pasif sehingga tidak bisa mengontrol efek yang menimpanya. Jelaslah, dalam teori ini, media massa sangat perkasa dalam mempengaruhi publik.
                 Isu pengoplosan daging babi ke dalam adonan bakso ini dianggap penting oleh khalayak karena hampir semua media memperbincangkan hal tersebut. Apalagi channel televisi nasional menghadirkan berita mengenai isu pengoplosan daging babi tersebut. Secara otomatis, khalayak diseluruh penjuru negeri kita terpengaruh oleh isu-isu yang ditayangkan oleh berbagai media. Tidak hanya televisi, tapi saluran-saluran radio, terutama online juga memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi khalayak.
2)      Teori Kultivasi
Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah “Living with Television: The Violenceprofile”, Journal of Communication. Awalnya, ia melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu. Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”. Teori ini mendeksripsikan bahwa media menghasilkan sebuah dampak dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata (kehidupannya sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia [2]yang digambarkan oleh media. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam media itu adalah "realita". Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yang mereka lihat sesungguhnya
Berdasarkan teori ini, masyarakat yang secara konsisten menyaksikan liputan mengenai oplosan daging babi tersebut akan menganggap bahwa tidak hanya di Cipete peristiwa itu terjadi, sehingga mereka memiliki rasa ketakutan yang berlebihan dibandingkan masyarakat yang tidak menonton liputan tersebut. Secara otomatis, karena rasa takut yang berlebihan, mereka merasa segan untuk mengkonsumsi bakso lagi. Apalagi mereka yang beragama islam, rasa takutnya pasti sangat berlebihan sekali, karena daging babi itu sangat diharamkan untuk dikonsumsi. Karena hal itu, para pecinta bakso akan lebih hati-hati terhadap bakso-bakso yang biasa mereka konsumsi. Mungkin saja sekarang mereka hanya mengkonsumsi bakso yang diberi label halal oleh MUI, ataupun sama sekali tidak mengkonsumsi bakso sebelum kasus tersebut benar-benar dianggap clear.
2.      Fenomena Komunikasi :
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu menjadi perbincangan menarik berbagai kalangan, dari kantor wakil rakyat sampai kedai kopi. Hal itu tidak terlepas dari berbagai fenomena yang mengiringi Pilkada. Timbulnya konflik dalam Pilkada, koalisi partai politik, hingga masuknya kalangan artis ke kancah politik merupakan isu yang kerap dibicarakan. Namun hanya sedikit yang memperbincangkan Pilkada dari sisi komunikasi politik yang memenuhi ruang publik.
Banyak artis tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media khususnya televisi dan demokrasi. Televisi menjadi medium sempurna bagi artis untuk mendulang kemasyhuran dan citra diri. Sementara sistem pemilihan langsung telah membuat selebriti yang sudah populer dan dikenal publik menjadi pilihan masyarakat. Popularitas artis memang berpotensi mendulang suara dalam pilkada. Tapi ada juga yang mengatakan sebenarnya para artis ini tidak ada niatan untuk terjun ke dunia politik, akan tetapi karena rayuan partai politik, akhirnya mereka mau bergabung dan menjadi anggota partai. Popolaritas dari artis tentu menggoda partai politik. Tak bisa dipungkiri, popularitas artis bisa menjadi modal untuk memperbesar potensi raihan suara dalam pemilihan Legislatif, kepala daerah maupun presiden, sehingga menjadi lumbung suara bagi setiap partai politik. Wajar saja menjelang pemilu, setiap partai politik berebutan mencari artis yang potensial dalam meraup suara rakyat. Hal apapun pasti dilakukan oleh setiap Partai politik demi mencapai tujuannya masing-masing (ex: gaya atau cara kampanye).
Apabila dilihat dari sudut pandang komunikasi, fenomena tersebut bisa dijelaskan oleh teori-teori komunikasi, misalnya :
1)    Teori yang berasal dari penelitian mengenai kelompok dan sikap politik (Paul Lazarsfeld)
Penlitian ini melibatkan media massa yang diyakini bisa mengarahkan pilihan politik seseorang. Hasilnya, ternyata media massa tidak terlalu berperan dibandingkan dengan pengaruh pribadi atau pengaruh orang lain. Penelitian ini menumbangkan sejumlah peneliti yang mendewakan pengaruh komunikasi massa (kejayaan jarum hipodermik). Penlitian lazarsfeld menunjukkan sauatu kecenderungan yang kuat bahwa orang memilih kandidat yang sama seperti yang dipilih kelompok primernya.[3]

Berdasarkan pada penelitian ini, biasanya para kader-kader partai melobi beberapa orang yang memiliki kekuasaan di berbagai daerah. Dengan begitu, partai dengan mudahnya bisa mempengaruhi keyakinan masyarakat. Untuk mencapai vote seperti yang diharapkan, saat ini partai-partai politik mendongkrak popularitas para artis. Hal itu terjadi supaya mereka memiliki kekuatan dan kepercayaan diri ketika berkampanye. Masyarakat pada umumnya mengenal artis-artis yang sering muncul di Televisi. Walaupun tak berkampanye lewat media, tapi dengan mempengaruhi keyakinan suatu pemimpin di daerah kecil seperti perkampungan, katakanlah ketua RW, maka secara otomatis masyarakat pasti mendukung pilihan ketua RW nya. Terkadang ada yang merasa terpaksa karena doktrinan, tapi secara keseluruhan, masyarakat selalu mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh leluhurnya (ketua RT ataupun ketua RW). Karena itulah, pengaruh orang lain bisa merubah keyakinan seseorang, dan akhirnya partai yang melobi kekuatan primer disuatu daerah-daerah kecil merasa diuntungkan.
2)      Teori Agenda Setting
Menurut asumsi teori ini, media memiliki kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media mengatur apa yang harus kita lihat atau tokoh siapa yang harus kita dukung. Dalam ungkapan lain, apa yang diagendakan oleh media akan menjadi agenda masyarakat.
Tanpa disadari, saat ini hampir setiap berita menayangkan fenomena artis yang akan terjun ke ranah politik. Ada yang pro, dan ada juga yang kontra. Secara tidak langsung, media juga berbicara pada masyarakat. Misalnya, dalam suatu acara atau berita, media memuji-muji calon Presiden ataupun Gubernur daerah yang bagroundnya seorang entertainment, secara tidak langsung media itu berkampanye, menghasut audience supaya memilih artis yang dipuji-puji itu.

3.      Fenomena Komunikasi : Demam Sepak Bola, The Jak dan Viking Berseteru.
Permusuhan antara The Jak (PERSIJA) dengan Viking (PERSIB) memang terjadi sejak dahulu. Kasus tersebut terus menjadi sorotan, khususnya bagi orang-orang yang ”Gila Bola”. Setiap beres pertandingan di lapangan, beberapa media sering menayangkan tindakan anarkis atau kekerasan yang dilakukan oleh Viking kepada The Jak ataupun sebaliknya. Hal ini terjadi karena diantara mereka salah mempersepsikan pesan ataupun tak bisa berkomunikasi dengan baik.
Kebencian semakin merajalela tatkala diantara mereka melihat suatu tayangan di televisi ataupun siaran-siaran radio, bahkan media cetak yang memperbincangkan kekerasan, misalnya : The jak melakukan tindak kekerasan taerhadap viking, ataupun sebaliknya. Seharusnya, media tak memperbincangkan masalah itu karena hal itu hanya membuat emosi semakin naik dikalangan bobotoh ataupun the jak mania. Harusnya media menjadi penengah diantara kedua kelompok tersebut, supaya tidak ada lagi kekerasan yang terjadi.
Kasus tersebut apabila dilihat dari perspektif komunikasi, bisa diteliti oleh beberapa teori. Diantaranya :
1)             Teori Kritis
Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma kritis adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas. Beberapa teoretisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bisa bertahan dari gempuran pengaruh media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana kekuatan elite domina mampu secara efektif dikritisi secara maksimal. Dalam perdebatan teoretis ini memang harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan penelitian yang bersifat empirik positivistik.
Kasus penindasan yang sering terjadi dikalangan supporter bola, khusunya Viking dan The jak memang terjadi karena sering terjadinya penindasan, sehingga emosi dari kedua belah pihak semakin memanas. Secara otomatis komplotan yang merasa tidak adil dengan adanya penindasan akan berusaha untuk menghilangkan tindak kekerasan itu dengan cara sepicik apapun. Siklusnya terus seperti itu, karena sampai saat ini belum ada kata “damai” yang sesungguhnya dari kedua kubu. apalagi ketika berita penindasan ditayangkan di media massa, emosi semakin tak terkontrol, dan dendam semakin membara.
2)         Teori Jarum Hipodermik
Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini muncul pada 1950an oleh Wilbur Schram, kemudian dicabut kembali pada tahun 1970an karena khalayak sasaran media massa ternyata tidak pasif. Hal ini didukung oleh Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan bahwa khalayak yang ditterpa peluru tidak jatuh terjerembab (peluru tidak menembus, efek tidak seuai dengan tujuan pnembak, sasaran [4]senang ditembak). Sedangkan Bauer menyatakan bawa khalayak sebenarnya tidak pasif (mencari yang diinginkan dari media massa). Pada tahun 1960an, muncul teory limited effect model oleh Hovland. Dia menyatakan bahwa pesan komunikasi efektif dalam menyebarkan informasi, bukan untuk mengubah perilaku. Coooper dan Jahoda menunjukan bahwa persepsi selektif mengurangi efektivitas suatu pesan.
Teori ini memprediksikan dampak pesan pesan komunikasi massa yang kuat dan kurang lebih universal pada semua audience. Kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif dan tak berdaya. Menurut teori ini, media massa memiliki kemampuan yang penuh untuk mempengaruhi audience. Masyarakat yang tadinya biasa saja dengan suporter sepak bola, kini menjadi memiliki image yang kurang baik. Apalagi para suporter yang bersangkutan, ketika melihat kekerasan atau penindasan antar suporter, mereka akan semakin benci, dan semakin jauh dari perdamaian.


[1].Artikel. (2008) Teori-teori komunikasi [online]. Tersedia : http://nurudin-umm.blogspot.com  [14 Desember 2012] 16:10
[2] [2].Artikel. (2008) Teori-teori komunikasi [online]. Tersedia : http://nurudin-umm.blogspot.com  [14 Desember 2012] 16:10
[3] Anugrah D. Materi perkuliahan. (2012). Teori komunikasi politik.
[4] Artikel. (2011). Teori komunikasi massa. [online]. tersedia : http://ginotte.multiply.com. [14 Desember 2012]. 17:00

2 komentar: