TUGAS UAS
FENOMENA KOMUNIKASI
Tugas ini dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir
Semester (UAS) Matakuliah Teori Komunikasi
Hera Erawan
1211405060
Jurnalistik III/B
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI ILMU
KOMUNIKASI JURNALISTIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
GUNUNG DJATI BANDUNG
2012
Petunjuk
Soal :
1.
Carilah tiga fenomena komunikasi yang
terjadi saat ini!
2. Tentukan teori komunikasi apa yang dapat menjelaskan masing-masing fenomena
komunikasi tersebut!
3. Uraikan
secara jelas bagaimana isi teori tersebut dan kaitannya dengan fenomena
komunikasi yang telah saudara tentukan!
Ketentuan:
1. Jawaban di ketik menggunakan huruf Time New Roman
12 font
2. Lengkapi jawaban saudara dengan referensi
sebanyak-banyaknya
3. Jawaban dikumpulkan menjelang UAS
4. Sertakan daftar pustaka
1. Fenomena
Komunikasi :
Minggu-minggu
ini ada sebuah topik yang sedang marak diperbincangkan di televisi, ataupun
media massa yang lainnya, yaitu mengenai maraknya oplosan daging babi. Tindakan
mengoplos daging babi ke dalam adonan bakso memang tak dilakukan oleh semua
pedagang bakso. Hal tersebut hanya dilakukan oleh oknum-oknum pedagang yang
tidak bertanggung jawab. Tapi isu-isu yang marak diperbincangkan di media massa
tersebut mematikan para pedagang bakso diseluruh penjuru negeri ini, karena
meskipun kejadian tersebut hanya terjadi di wilayah
Cipete-Jakarta Selatan, tetap saja khalayak merasa segan untuk mengkonsumsi
bakso karena terpengaruh oleh tayangan-tayangan di televisi, khususnya berita.
Hampir semua masyarakat memperbincangkan isu tersebut.
Untuk menganalisis
kasus tersebut, ada 2 teori komunikasi yang dapat menjelaskannya.
1) Teori Agenda Setting
Agenda Setting Theory pertama kali diperkenalkan oleh
Maxwell Mc Combs dan Donald L. Shaw tahun 1973 dalam publikasiya
yang bertajuk The Agenda Setting Function of The Mass Media
(Tatap muka 10&11 Matakuliah Teori Komunikasi).
Agenda setting menjelaskan begitu besarnya
pengaruh media, berkaitan dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada
audiens mengenai isu - isu yang penting. Kita
cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal
tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka kita
juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap
penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi
diri kita, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali.[1]
Dalam teori agenda setting, audiens bersifat pasif
sehingga tidak bisa mengontrol efek yang menimpanya. Jelaslah, dalam teori ini,
media massa sangat perkasa dalam mempengaruhi publik.
Isu pengoplosan daging babi ke
dalam adonan bakso ini dianggap penting oleh khalayak karena hampir semua media
memperbincangkan hal tersebut. Apalagi channel televisi nasional menghadirkan
berita mengenai isu pengoplosan daging babi tersebut. Secara otomatis, khalayak
diseluruh penjuru negeri kita terpengaruh oleh isu-isu yang ditayangkan oleh
berbagai media. Tidak hanya televisi, tapi saluran-saluran radio, terutama
online juga memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi khalayak.
2) Teori Kultivasi
Teori
kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner
ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas
Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori
ini adalah “Living with Television: The Violenceprofile”, Journal of
Communication. Awalnya, ia melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya”
dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan
kata lain, ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan,
dipersepsikan oleh penonton televisi itu. Itu juga bisa dikatakan bahwa
penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”. Teori
ini mendeksripsikan bahwa media menghasilkan sebuah dampak dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata
(kehidupannya sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia [2]yang
digambarkan oleh media. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam
media itu adalah "realita". Penelitian kultivasi menekankan bahwa
media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi
itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yang mereka
lihat sesungguhnya
Berdasarkan teori ini, masyarakat yang secara konsisten
menyaksikan liputan mengenai oplosan daging babi tersebut akan menganggap bahwa
tidak hanya di Cipete peristiwa itu terjadi, sehingga mereka memiliki rasa
ketakutan yang berlebihan dibandingkan masyarakat yang tidak menonton liputan
tersebut. Secara otomatis, karena rasa takut yang berlebihan, mereka merasa
segan untuk mengkonsumsi bakso lagi. Apalagi mereka yang beragama islam, rasa takutnya
pasti sangat berlebihan sekali, karena daging babi itu sangat diharamkan untuk
dikonsumsi. Karena hal itu, para pecinta bakso akan lebih hati-hati terhadap
bakso-bakso yang biasa mereka konsumsi. Mungkin saja sekarang mereka hanya
mengkonsumsi bakso yang diberi label halal oleh MUI, ataupun sama sekali tidak
mengkonsumsi bakso sebelum kasus tersebut benar-benar dianggap clear.
2. Fenomena Komunikasi :
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu menjadi
perbincangan menarik berbagai kalangan, dari kantor wakil rakyat sampai kedai
kopi. Hal itu tidak terlepas dari berbagai fenomena yang mengiringi Pilkada.
Timbulnya konflik dalam Pilkada, koalisi partai politik, hingga masuknya
kalangan artis ke kancah politik merupakan isu yang kerap dibicarakan. Namun
hanya sedikit yang memperbincangkan Pilkada dari sisi komunikasi politik yang
memenuhi ruang publik.
Banyak artis tergiur terjun ke jabatan publik akibat
perkembangan media khususnya televisi dan demokrasi. Televisi menjadi medium
sempurna bagi artis untuk mendulang kemasyhuran dan citra diri. Sementara
sistem pemilihan langsung telah membuat selebriti yang sudah populer dan
dikenal publik menjadi pilihan masyarakat. Popularitas artis memang berpotensi
mendulang suara dalam pilkada. Tapi ada juga yang mengatakan sebenarnya para
artis ini tidak ada niatan untuk terjun ke dunia politik, akan tetapi karena
rayuan partai politik, akhirnya mereka mau bergabung dan menjadi anggota
partai. Popolaritas dari artis tentu menggoda partai politik. Tak bisa
dipungkiri, popularitas artis bisa menjadi modal untuk memperbesar potensi
raihan suara dalam pemilihan Legislatif, kepala daerah maupun presiden,
sehingga menjadi lumbung suara bagi setiap partai politik. Wajar saja menjelang
pemilu, setiap partai politik berebutan mencari artis yang potensial dalam
meraup suara rakyat. Hal apapun pasti dilakukan oleh setiap Partai politik demi
mencapai tujuannya masing-masing (ex: gaya atau cara kampanye).
Apabila dilihat dari sudut pandang komunikasi, fenomena tersebut bisa
dijelaskan oleh teori-teori komunikasi, misalnya :
1) Teori yang
berasal dari penelitian mengenai kelompok
dan sikap politik (Paul Lazarsfeld)
Penlitian
ini melibatkan media massa yang diyakini bisa mengarahkan pilihan politik
seseorang. Hasilnya, ternyata media massa tidak terlalu berperan dibandingkan dengan
pengaruh pribadi atau pengaruh orang lain. Penelitian ini menumbangkan sejumlah
peneliti yang mendewakan pengaruh komunikasi massa (kejayaan jarum hipodermik). Penlitian lazarsfeld menunjukkan sauatu kecenderungan
yang kuat bahwa orang memilih kandidat yang sama seperti yang dipilih kelompok
primernya.[3]
Berdasarkan
pada penelitian ini, biasanya para kader-kader partai melobi beberapa orang
yang memiliki kekuasaan di berbagai daerah. Dengan begitu, partai dengan
mudahnya bisa mempengaruhi keyakinan masyarakat. Untuk mencapai vote seperti
yang diharapkan, saat ini partai-partai politik mendongkrak popularitas para
artis. Hal itu terjadi supaya mereka memiliki kekuatan dan kepercayaan diri
ketika berkampanye. Masyarakat pada umumnya mengenal artis-artis yang sering
muncul di Televisi. Walaupun tak berkampanye lewat media, tapi dengan
mempengaruhi keyakinan suatu pemimpin di daerah kecil seperti perkampungan,
katakanlah ketua RW, maka secara otomatis masyarakat pasti mendukung pilihan
ketua RW nya. Terkadang ada yang merasa terpaksa karena doktrinan, tapi secara
keseluruhan, masyarakat selalu mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh
leluhurnya (ketua RT ataupun ketua RW). Karena itulah, pengaruh orang lain bisa
merubah keyakinan seseorang, dan akhirnya partai yang melobi kekuatan primer
disuatu daerah-daerah kecil merasa diuntungkan.
2)
Teori Agenda
Setting
Menurut asumsi teori ini, media memiliki kemampuan untuk menyeleksi dan
mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media mengatur apa yang harus kita lihat atau tokoh siapa yang harus kita
dukung. Dalam
ungkapan lain, apa yang diagendakan oleh media akan menjadi agenda masyarakat.
Tanpa
disadari, saat ini hampir setiap berita menayangkan fenomena artis yang akan
terjun ke ranah politik. Ada yang pro, dan ada juga yang kontra. Secara tidak
langsung, media juga berbicara pada masyarakat. Misalnya, dalam suatu acara
atau berita, media memuji-muji calon Presiden ataupun Gubernur daerah yang
bagroundnya seorang entertainment, secara tidak langsung media itu berkampanye,
menghasut audience supaya memilih artis yang dipuji-puji itu.
3.
Fenomena Komunikasi : Demam Sepak Bola, The Jak dan
Viking Berseteru.
Permusuhan antara The Jak (PERSIJA) dengan Viking (PERSIB) memang terjadi
sejak dahulu. Kasus tersebut terus menjadi sorotan, khususnya bagi orang-orang
yang ”Gila Bola”. Setiap beres pertandingan di lapangan, beberapa media sering
menayangkan tindakan anarkis atau kekerasan yang dilakukan oleh Viking kepada
The Jak ataupun sebaliknya. Hal ini terjadi karena diantara mereka salah
mempersepsikan pesan ataupun tak bisa berkomunikasi dengan baik.
Kebencian semakin merajalela tatkala diantara mereka melihat suatu tayangan
di televisi ataupun siaran-siaran radio, bahkan media cetak yang
memperbincangkan kekerasan, misalnya : The jak melakukan tindak kekerasan
taerhadap viking, ataupun sebaliknya. Seharusnya, media tak memperbincangkan
masalah itu karena hal itu hanya membuat emosi semakin naik dikalangan bobotoh
ataupun the jak mania. Harusnya media menjadi penengah diantara kedua kelompok
tersebut, supaya tidak ada lagi kekerasan yang terjadi.
Kasus
tersebut apabila dilihat dari perspektif komunikasi, bisa diteliti oleh
beberapa teori. Diantaranya :
1)
Teori Kritis
Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis
mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang
dikemukakan oleh paradigma kritis adalah asumsi realitas yang tidak netral
namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan
sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan
nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana
paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di
dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. Ada beberapa
karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang
bisa dilihat secara jelas. Beberapa
teoretisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bisa bertahan dari gempuran
pengaruh media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana
kekuatan elite domina mampu secara efektif dikritisi secara maksimal. Dalam
perdebatan teoretis ini memang harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan
kritis dan kultural ini dibandingkan dengan penelitian yang bersifat empirik
positivistik.
Kasus
penindasan yang sering terjadi dikalangan supporter bola, khusunya Viking dan
The jak memang terjadi karena sering terjadinya penindasan, sehingga emosi dari
kedua belah pihak semakin memanas. Secara otomatis komplotan yang merasa tidak
adil dengan adanya penindasan akan berusaha untuk menghilangkan tindak
kekerasan itu dengan cara sepicik apapun. Siklusnya terus seperti itu, karena
sampai saat ini belum ada kata “damai” yang sesungguhnya dari kedua kubu.
apalagi ketika berita penindasan ditayangkan di media massa, emosi semakin tak
terkontrol, dan dendam semakin membara.
2)
Teori Jarum
Hipodermik
Teori
ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan
komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini muncul pada 1950an
oleh Wilbur Schram, kemudian dicabut kembali pada tahun 1970an karena khalayak
sasaran media massa ternyata tidak pasif. Hal ini didukung oleh
Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan bahwa khalayak yang
ditterpa peluru tidak jatuh terjerembab (peluru tidak menembus, efek tidak
seuai dengan tujuan pnembak, sasaran [4]senang
ditembak). Sedangkan Bauer menyatakan bawa khalayak sebenarnya tidak pasif
(mencari yang diinginkan dari media massa). Pada tahun 1960an, muncul
teory limited effect model oleh Hovland. Dia menyatakan bahwa pesan
komunikasi efektif dalam menyebarkan informasi, bukan untuk mengubah perilaku.
Coooper dan Jahoda menunjukan bahwa persepsi selektif mengurangi efektivitas
suatu pesan.
Teori ini memprediksikan dampak pesan pesan
komunikasi massa yang kuat dan kurang lebih universal pada semua audience. Kekuatan media yang begitu dahsyat hingga
bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif dan tak berdaya. Menurut teori ini, media massa memiliki kemampuan yang
penuh untuk mempengaruhi audience. Masyarakat yang tadinya biasa saja dengan
suporter sepak bola, kini menjadi memiliki image yang kurang baik. Apalagi para
suporter yang bersangkutan, ketika melihat kekerasan atau penindasan antar
suporter, mereka akan semakin benci, dan semakin jauh dari perdamaian.
[1].Artikel. (2008) Teori-teori komunikasi [online].
Tersedia : http://nurudin-umm.blogspot.com [14 Desember 2012] 16:10
[2]
[2].Artikel. (2008) Teori-teori komunikasi [online].
Tersedia : http://nurudin-umm.blogspot.com [14 Desember 2012] 16:10
[3] Anugrah D. Materi perkuliahan. (2012). Teori komunikasi politik.
[4] Artikel. (2011). Teori komunikasi massa. [online]. tersedia : http://ginotte.multiply.com. [14 Desember 2012]. 17:00
artikel yang bagus gan, sangat bermanfaat...
BalasHapusWhatsApp Chatbot
Web Developer Tangerang
Sangat membantu sekali artikel ini
BalasHapus