DARAH
PALSU
Pagi itu Nadia dandan tak seperti
biasanya. Ia terlihat lebih cantik dengan maskara dan eye liner yang menempel di kelopak matanya. Dandanannya tampak
rapih dan accecories yang ia kenakan membuatnya begitu elegan. Saat ia keluar
dari kamarnya menuju ruang makan, serentak Ayah dan Ibunya berdiri bersamaan
dengan wajah yang terlihat seperti orang shock.
“Ayah dan Ibu kenapa sih? Kok
kayak kaget pas ngeliat aku, emangnya aku ini setan!”, celetuk Nadia. “sayang,
kamu cantik sekali hari ini. Tapi kenapa kamu dandan seperti ini?” tanya Ibunya.
Hari itu, Nadia memang dituntut
untuk dandan seperti itu oleh gurunya. Ia menjadi perwakilan sekolah dalam
lomba peragaan tata busana antar SMA se-Kabupaten. Saat Ayah dan Ibunya mendengarkan
penjelasan Nadia mengenai dandanannya pagi itu, mereka langsung memeluk Nadia
dengan pelukan yang penuh kehangatan seraya berkata, “kami bangga sayang
memiliki anak seperti kamu”. Tak lama kemudian, Rangga turun dari lantai atas
menuju ruang makan. “cie, kok aku ga dipeluk sih sama Ayah dan Ibu? Iri nih
sama kakak L”, sahut Angga yang
merupakan adik Nadia. Mendengar anak keduanya berkata seperti itu, akhirnya
orangtua Nadia dan Rangga memeluk kedua anaknya secara bersamaan. Mereka
berempat pun berpelukan seperti teletubbies.
Seperti biasa, setelah makan dan
pamitan kepada kedua orangtuanya, Rangga dan Nadia berangkat sekolah
bersama-sama. Nadia dibonceng oleh adiknya yang kebetulan satu kelas dengannya.
Mereka memang lahir di tahun yang sama. Sejak Taman kanak-kanak sampai sekarang
(kelas 2 SMA) mereka memang selalu berbarengan. “good luck ya kak!” Angga
menyemangati kakaknya sebelum mereka terpisah karena Nadia harus bertemu dengan
gurunya yang akan membawanya ke tempat perlombaan. “makasih sayang, kamu yang
bener ya belajarnya. Awas jangan nakal di kelas!” balas Nadia.
Hari sudah mulai sore, matahari
sudah tak memancarkan cahayanya lagi. Rangga pulang sendirian ke rumah saat
itu. Ia merasakan hal yang berbeda. Biasanya pulang pergi ia membonceng kakaknya,
tapi hari itu kebersamaan mereka terlewati karena lomba peragaan tata busana.
Setibanya di rumah, Rangga
langsung menghampiri Ibunya. “kakak belum pulang Bu?” tanya Angga pada ibunya
yang sedang menyiram bunga. “belum nak, tadi kakak sms Ibu, katanya ia akan
pulang agak malem.” Jawab Ibunya. Mendengar jawaban Ibunya, ia langsung pergi
ke kamarnya dan bersiap-siap untuk mandi.
Krining.. krining.. Suara telepon
rumah bunyi. Ayah Nadia dan Rangga yang kebetulan baru pulang kerja mengangkat
telepon itu. Ternyata yang menelepon adalah guru Nadia yang memberi kabar bahwa
Nadia menjadi juara umum dalam lomba peragaan tata busana. Tak tergambarkan
betapa bangganya Ayah Nadia saat itu. Setelah telepon ditutup, ia langsung
memanggil isterinya dan Rangga. Betapa bahagianya mereka bertiga saat itu.
Rangga yang tampaknya tak sabar ingin bertemu kakaknya memiliki rencana untuk
membuat pesta kecil-kecilan demi merayakan prestasi yang telah diraih kakaknya.
Mendengar ide anak lelakinya itu, kedua orangtuanya mengangguk-ngangguk kepala
tanpa berkata apa-apa saking bahagianya.
Hari sudah mulai malam. Udara
malam itu begitu dingin sekali, dan waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB.
Rangga dan kedua orangtuanya serempak memakai jaket. Mereka sibuk mempersiapkan
pesta kejutan untuk Nadia yang tak kunjung datang. Setelah semuanya telah siap,
mereka duduk di ruang tamu dengan wajah-wajah yang mulai resah. Waktu terus
berjalan, hingga akhirnya tepat pukul 10 malam, jam dinding di ruang tamu itu
berbunyi. Semua mata tertuju pada jam dinding yang berbunyi di keheningan
ruangan itu.
Krining..krining. Telepon rumah
kembali berdering. Mereka berharap itu adalah telepon dari Nadia. Kali ini
Rangga yang mengangkat telepon. Baru saja mengatakan “Assalamualaikum”, wajah
Rangga terlihat seperti orang yang ketakutan. Ternyata yang menelepon adalah
pihak Rumah sakit yang mengatakan bahwa Nadia mengalami kecelakaan dan sedang
ditangani oleh dokter di ruang ICU. Secara spontan, Rangga melepaskan telepon
hingga jatuh di lantai. Ayah dan Ibunya segera menghampirinya. Rangga
menceritakan apa yang terjadi sembari menangis kepada kedua orangtuanya. Malam
itu ternyata bukan malam kebahagiaan bagi keluarga Nadia. Senyuman yang
terpancar beberapa jam yang lalu kini berubah menjadi isak tangis yang tiada
henti. Malam minggu itu adalah malam yang tak akan pernah terlupakan oleh
Rangga dan kedua orangtuanya.
Tepat pukul 11 malam, mereka
bertiga tiba di Rumah sakit dengan wajah yang penuh dengan air mata. Tangisan
mereka tiada hentinya, apalagi setelah sampai di depan ruang ICU. Rangga sempat
tak sadarkan diri saat itu. Selama ia bersama dengan kakaknya, baru kali ini ia
merasakan kehilangan yang berujung tangisan. Beberapa saat kemudian, terdengar
suara hentakan sepatu menuju pintu. Ternyata, yang keluar dari ruang ICU adalah
dokter yang menangani Nadia. Dokter mengatakan bahwa Nadia mengeluarkan banyak
darah sehingga ia memerlukan pendonor darah. Tangisan kedua orangtua Nadia dan
Rangga tiba-tiba berhenti setelah mendengar perkataan dokter. Mereka pasti
kaget sekali karena ternyata Nadia bukan anak kandung mereka berdua. Rangga
yang masih menangis berkata pada dokter, “ambil saja darah saya dok, saya rela
mendonorkan darah saya. Walaupun semua darah saya diambil, saya rela demi
keselamatan kakak saya.”
Mendengar perkataan Rangga, Ayah
dan Ibunya semakin kebingungan. Setelah dokter memeriksa darah Rangga, ternyata
darahnya tak cocok untuk didonorkan kepada kakaknya. Akhirnya, Rangga dilanda
rasa bingung yang teramat sangat. Ia bingung kenapa Ayah dan Ibunya diam saja.
Ia berfikir, kalau darahnya tak cocok dengan darah kakaknya, pasti diantara
Ayah dan Ibunya ada yang cocok untuk didonorkan. “Ayah! Ibu! Kalian kenapa? Gak
sayang sama kakak? Apa kalian tega membiarkan kakak kesakitan terus? Kenapa bu?
Kenapa yah? Kalian gak mau mendonorkan darah kalian? Kalian ternyata egois! Aku
benci!”, Rangga berteriak pada kedua orangtuanya.
Ternyata, Nadia adalah anak
seorang wanita yang selama ini ia anggap sebagai tantenya. Nadia diadopsi oleh
orangtua Rangga karena saat itu kedua orangtua Rangga susah memiliki keturunan.
Nadia diadopsi semenjak bayi, dan setelah mengadopsi Nadia, ternyata Ibu Rangga
langsung positif hamil. Itulah sebabnya Rangga dan Nadia tak berbeda jauh
umurnya, karena waktu Nadia berusia 9 bulan, Rangga dilahirkan oleh Ibunya.
Mendengar penjelasan Ibunya, Rangga seakan-akan tak percaya. Ternyata, orang
yang selama 16 tahun ini ia anggap sebagai kakak kandungnya adalah sepupunya
sendiri. Ia berteriak-teriak seperti orang yang kehilangan kendali seraya
berkata, “Ibu bohong”.
Dalam waktu yang sama, Ayah
Rangga menelepon kakak iparnya yang merupakan ibu kandung Nadia. Ia mengatakan
bahwa Nadia sedang membutuhkan darah Ibu kandungnya karena telah mengeluarkan
banyak darah pasca kecelakaan yang telah menimpanya. Nadia mengalami tragedi
naas itu ketika sedang dibonceng oleh gurunya. Sepeda motor yang sedang
dikendarai gurunya itu tertabrak oleh angkot hingga menyebabkan nadia terapung
keatas angkot dan mendarat di jalan raya.
Ibu kandung Nadia langsung menuju
rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung mendonorkan darahnya untuk
anak kandungnya yang telah terpisah selama 16 tahun darinya. Betapa sakitnya
hati Ibu kandung Nadia saat itu, ia hanya bisa melihat anaknya yang masih belum
sadarkan diri dari kaca ruang ICU.
“Tante, ku mohon jangan ambil
kakak dariku. Aku sangat menyayanginya. Dia kakak terbaik bagiku, meski
sekarang aku telah mengetahui kebohongan Ayah dan Ibu selama 16 tahun ini”,
ucap Rangga pada tantenya sambil menangis yang belum pernah berhenti semenjak
tiba di Rumah sakit. Mendengar keponakannya bicara seperti itu, Ilah (tantenya
Rangga) hanya bisa mengeluarkan air mata sambil memeluk Rangga.
“Angga, Angga..”. terdengar suara
Nadia dari ruangan tempat ia dirawat. Mendengar kakaknya memanggilnya, Rangga
langsung masuk, diikuti oleh tantenya. “Angga, kakak masih hidup kan”? Candaan
Nadia sembari tersenyum. “tentu saja kakakku sayang”, jawab Rangga sambil
menahan tangis. “lho, ko ada tante disini?Ayah dan Ibu mana tan?”, tanya Nadia
lagi. Hampir saja Rangga mengatakan yang sebenarnya terjadi 16 tahun ini pada
kakaknya. Tapi kedatangan Ayah dan Ibunya membuat Rangga mengurungkan niatnya
itu. Mereka langsung memeluk Nadia sambil menangis. “aku baik-baik saja ko Bu,
Yah”, ucap Nadia.
Tak kuat melihat kebersamaan
Nadia dengan adiknya, Ibu kandung Nadia akhirnya pamit pulang. Sebelum pulang,
ia memeluk Nadia dengan erat sekali. Nadia merasakan pelukan yang belum pernah
ia raskaan sebelumnya saat itu. Petir mendadak menggelegar ketika mereka berpelukan.
Nadia merasa sangat aneh sekali, getaran-getaran pelukan itu membuat hatinya
seakan-akan tertusuk. “semoga cepeet sembuh ya saya... hmm Nad!”, bisik Ilah
pada anak kandungnya. Rangga langsung nangis dan lari keluar melihat tantenya
memeluk Nadia dengan waktu yang cukup berdurasi. Sedangkan Ayah dan Ibunya
hanya bisa menundukkan kepala, karena mereka tak ingin airmatanya keluar dan
membuat Nadia curiga.
Melihat Rangga terisak-isak
menangis di ruang tunggu, sebelum melangkahkan kaki untuk menuju lif, Ilah
mencoba menenangkannya dengan berkata, “hapus air matamu sayang, tante tak akan
merebut kakak dari hidup kamu. Nadia akan tetap menjadi kakak kamu selamanya”.
Rangga tak menjawab perkataan tantenta, ia hanya bisa mencium tangan tantenya
sambil menangis, dan terus menangis walaupun matanya telah memerah.
Setelah dua minggu dirawat di
Rumah sakit, akhirnya Nadia diizinkan untuk pulang oleh dokter. Nadia tampak
bahagia sekali. Sepanjang jalan, ia terus menggoda Ayahnya yang menyetir mobil,
dan terus bercanda dengan Rangga yang ia anggap sebagai adik kandungnya.
Sesampainya di rumah, mereka berempat langsung istirahat ke kamar
masing-masing. Rangga mengantarkan kakaknya ke kamar. Sebelum menutup kamar
kakaknya, Rangga berkata,”aku sayang banget kak sama kamu, aku ga mau
kehilangan kamu”. Sambil ketawa Nadia hanya menjawab, “jangan ngigau ah”.
Esok harinya hujan turun begitu
deras sekali. Ayah dan Ibu Nadia dan
Rangga pamit kepada kedua anaknya. Mereka harus pergi ke Jakarta untuk mengurus
keperluan bisnis. Ayah yang biasanya tak didampingi Ibu kali ini berangkat
berdua. “jangan lupa minum obat ya sayang”, ucap Ibunya pada Nadia. “jaga
kakakmu baik-baik. Ayah dan Ibu nanti malam pulang”. Pangkas Ayahnya pada
Rangga. Serempak Nadia dan Rangga memninta oleh-oleh pada kedua orangtuanya.
Kedua orangtua mereka hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.
“kakak, aku izin dulu ya mau ke
rumah temen. Buku PR aku soalnya dipinjem dan belum dikembaliin. Gak lama
kok!”, Rangga izin keluar rumah pada kakaknya. “Ia sayang, hati-hati”. Jawab
Nadia. Saat itu Rangga keluar dari rumah tepat ketika hujan sudah mulai reda.
Berjam-jam Nadia sendirian di
rumah. Rangga yang izin keluar sebentar ternyata mengirim sms yang isinya
mengatakan bahwa dia main futsal dulu sama teman-temannya.
Tepat jam 7 malam, Rangga dan
kedua orangtuanya tiba di rumah dalam waktu yang sama. Rangga yang langsung
masuk ke kamar Nadia dengan senyuman, akhirnya keluar dengan tangisan. Ayahnya
yang tampak cape pun heran. Rangga menangis sambil membaca surat yang ditulis
oleh Nadia. Ternyata.. Nadia telah mengetahui kebohongan orangtuanya selama 16
tahun. Ia menemukan surat bukti donor darah dari Ibu kandungnya ketika ia
kecelakaan. Ia juga menemukan berkas-berkas golongan darah di kamar Ibunya.
Kini Nadia telah pergi entah kemana, yang jelas dalam suratnya ia mengatakan
bahwa “ ternyata darah yang mengalir ditubuhku ini adalah darah palsu”. Ia juga
meminta supaya Rangga dan kedua orangtuanya tidak mencarinya.
Mendengar itu semua, Ibu Rangga
pingsan. Kekacauan semakin bertambah, dan kesedihan semakin bertubi-tubi.
Semenjak kepergian Nadia, semua penghuni rumah tampak murung setiap hari, dan
Ibu Rangga sering sakit-sakitan. Selain itu, Rangga dan Ayahnya juga jadi
kehilangan semangat untuk makan, hingga akhirnya tubuh mereka menciut dalam
jangka waktu seminggu.
Tepat jam 12 malam di malam
Minggu, Rangga menerima sms dari tantenya. Tantenya mengatakan bahwa Nadia ada
di rumahnya dan Nadia telah mengetahui semuanya. Rangga juga sebenarnya sudah
menduga bahwa Nadia kabur ke rumah Ibu kandungnya. Apalah daya, Rangga tak bisa
berbuat apa-apa. Ia terlalu takut menemui Nadia, meskipun tantenya berulang
kali sms menyuruhnya main ke rumah.
Ilah menceritakan keadaan
keluarga Rangga pada Nadia. Mendengar itu semua, Nadia nangis. Tapi jauh di
lubuk hatinya yang paling dalam, ia juga masih kecewa pada Ayah dan Ibu Rangga.
Kini Nadia memanggil Ilah dengan sebutan Mama. Ia memang tampak bahagia dengan
Ibu kandungnya, tapi matanya tak bisa berbohong, ia tetap terlihat menyimpan
berjuta-juta kesedihan. Hingga pada suatu hari, Mamanya mengajaknya untuk
belanja sambil makan-makan ke mall. Nadia menerima ajakan Mamanya itu.
Saat Nadia dan Mamanya sedang
makan di tempat favorit Nadia dan keluarganya yang dulu, tiba-tiba Rangga dan
kedua orangtuanya datang dengan wajah-wajah pucat. Mereka diundang oleh Mama
Nadia untuk makan bersama. Awalnya Nadia selalu memalingkan muka, tapi saat
Rangga nangis, Nadia tak kuasa bersikap seperti itu. Ia langsung merangkul
Rangga sambil berkata bahwa sebenarnya ia kangen dan sayang sekali pada Rangga.
Ia juga minta maaf karena sudah 2 minggu tak memberikan kabar pada keluarganya
yang dulu. Tapi hal yang paling mengejutkan sekaligus menyakitkan, Nadia
memanggil Ayah dan Ibunya dengan sebutan Paman dan Bibi. Ia merasa malu untuk
memanggil Ayah dan Ibu lagi seperti dahulu. Walaupun begitu, orangtua Rangga
tetap bahagia karena Nadia ternyata masih sudi untuk berbicara dengan mereka.
Makan siang hari itu benar-benar menegangkan. Disitulah semuanya saling minta maaf
atas kesalahan masing-masing. Hingga pada akhirnya, Nadia berkata, “ aku sayang
Ayah, Ibu, Angga, dan juga Mama”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar