Kamis, 28 Februari 2013

CERPEN__Darah Palsu



DARAH PALSU
Pagi itu Nadia dandan tak seperti biasanya. Ia terlihat lebih cantik dengan maskara dan eye liner yang menempel di kelopak matanya. Dandanannya tampak rapih dan accecories yang ia kenakan membuatnya begitu elegan. Saat ia keluar dari kamarnya menuju ruang makan, serentak Ayah dan Ibunya berdiri bersamaan dengan wajah yang terlihat seperti orang shock.
“Ayah dan Ibu kenapa sih? Kok kayak kaget pas ngeliat aku, emangnya aku ini setan!”, celetuk Nadia. “sayang, kamu cantik sekali hari ini. Tapi kenapa kamu dandan seperti ini?” tanya Ibunya.
Hari itu, Nadia memang dituntut untuk dandan seperti itu oleh gurunya. Ia menjadi perwakilan sekolah dalam lomba peragaan tata busana antar SMA se-Kabupaten. Saat Ayah dan Ibunya mendengarkan penjelasan Nadia mengenai dandanannya pagi itu, mereka langsung memeluk Nadia dengan pelukan yang penuh kehangatan seraya berkata, “kami bangga sayang memiliki anak seperti kamu”. Tak lama kemudian, Rangga turun dari lantai atas menuju ruang makan. “cie, kok aku ga dipeluk sih sama Ayah dan Ibu? Iri nih sama kakak L”, sahut Angga yang merupakan adik Nadia. Mendengar anak keduanya berkata seperti itu, akhirnya orangtua Nadia dan Rangga memeluk kedua anaknya secara bersamaan. Mereka berempat pun berpelukan seperti teletubbies.
Seperti biasa, setelah makan dan pamitan kepada kedua orangtuanya, Rangga dan Nadia berangkat sekolah bersama-sama. Nadia dibonceng oleh adiknya yang kebetulan satu kelas dengannya. Mereka memang lahir di tahun yang sama. Sejak Taman kanak-kanak sampai sekarang (kelas 2 SMA) mereka memang selalu berbarengan. “good luck ya kak!” Angga menyemangati kakaknya sebelum mereka terpisah karena Nadia harus bertemu dengan gurunya yang akan membawanya ke tempat perlombaan. “makasih sayang, kamu yang bener ya belajarnya. Awas jangan nakal di kelas!” balas Nadia.
Hari sudah mulai sore, matahari sudah tak memancarkan cahayanya lagi. Rangga pulang sendirian ke rumah saat itu. Ia merasakan hal yang berbeda. Biasanya pulang pergi ia membonceng kakaknya, tapi hari itu kebersamaan mereka terlewati karena lomba peragaan tata busana.
Setibanya di rumah, Rangga langsung menghampiri Ibunya. “kakak belum pulang Bu?” tanya Angga pada ibunya yang sedang menyiram bunga. “belum nak, tadi kakak sms Ibu, katanya ia akan pulang agak malem.” Jawab Ibunya. Mendengar jawaban Ibunya, ia langsung pergi ke kamarnya dan bersiap-siap untuk mandi.
Krining.. krining.. Suara telepon rumah bunyi. Ayah Nadia dan Rangga yang kebetulan baru pulang kerja mengangkat telepon itu. Ternyata yang menelepon adalah guru Nadia yang memberi kabar bahwa Nadia menjadi juara umum dalam lomba peragaan tata busana. Tak tergambarkan betapa bangganya Ayah Nadia saat itu. Setelah telepon ditutup, ia langsung memanggil isterinya dan Rangga. Betapa bahagianya mereka bertiga saat itu. Rangga yang tampaknya tak sabar ingin bertemu kakaknya memiliki rencana untuk membuat pesta kecil-kecilan demi merayakan prestasi yang telah diraih kakaknya. Mendengar ide anak lelakinya itu, kedua orangtuanya mengangguk-ngangguk kepala tanpa berkata apa-apa saking bahagianya.
Hari sudah mulai malam. Udara malam itu begitu dingin sekali, dan waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Rangga dan kedua orangtuanya serempak memakai jaket. Mereka sibuk mempersiapkan pesta kejutan untuk Nadia yang tak kunjung datang. Setelah semuanya telah siap, mereka duduk di ruang tamu dengan wajah-wajah yang mulai resah. Waktu terus berjalan, hingga akhirnya tepat pukul 10 malam, jam dinding di ruang tamu itu berbunyi. Semua mata tertuju pada jam dinding yang berbunyi di keheningan ruangan itu.
Krining..krining. Telepon rumah kembali berdering. Mereka berharap itu adalah telepon dari Nadia. Kali ini Rangga yang mengangkat telepon. Baru saja mengatakan “Assalamualaikum”, wajah Rangga terlihat seperti orang yang ketakutan. Ternyata yang menelepon adalah pihak Rumah sakit yang mengatakan bahwa Nadia mengalami kecelakaan dan sedang ditangani oleh dokter di ruang ICU. Secara spontan, Rangga melepaskan telepon hingga jatuh di lantai. Ayah dan Ibunya segera menghampirinya. Rangga menceritakan apa yang terjadi sembari menangis kepada kedua orangtuanya. Malam itu ternyata bukan malam kebahagiaan bagi keluarga Nadia. Senyuman yang terpancar beberapa jam yang lalu kini berubah menjadi isak tangis yang tiada henti. Malam minggu itu adalah malam yang tak akan pernah terlupakan oleh Rangga dan kedua orangtuanya.
Tepat pukul 11 malam, mereka bertiga tiba di Rumah sakit dengan wajah yang penuh dengan air mata. Tangisan mereka tiada hentinya, apalagi setelah sampai di depan ruang ICU. Rangga sempat tak sadarkan diri saat itu. Selama ia bersama dengan kakaknya, baru kali ini ia merasakan kehilangan yang berujung tangisan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara hentakan sepatu menuju pintu. Ternyata, yang keluar dari ruang ICU adalah dokter yang menangani Nadia. Dokter mengatakan bahwa Nadia mengeluarkan banyak darah sehingga ia memerlukan pendonor darah. Tangisan kedua orangtua Nadia dan Rangga tiba-tiba berhenti setelah mendengar perkataan dokter. Mereka pasti kaget sekali karena ternyata Nadia bukan anak kandung mereka berdua. Rangga yang masih menangis berkata pada dokter, “ambil saja darah saya dok, saya rela mendonorkan darah saya. Walaupun semua darah saya diambil, saya rela demi keselamatan kakak saya.”
Mendengar perkataan Rangga, Ayah dan Ibunya semakin kebingungan. Setelah dokter memeriksa darah Rangga, ternyata darahnya tak cocok untuk didonorkan kepada kakaknya. Akhirnya, Rangga dilanda rasa bingung yang teramat sangat. Ia bingung kenapa Ayah dan Ibunya diam saja. Ia berfikir, kalau darahnya tak cocok dengan darah kakaknya, pasti diantara Ayah dan Ibunya ada yang cocok untuk didonorkan. “Ayah! Ibu! Kalian kenapa? Gak sayang sama kakak? Apa kalian tega membiarkan kakak kesakitan terus? Kenapa bu? Kenapa yah? Kalian gak mau mendonorkan darah kalian? Kalian ternyata egois! Aku benci!”, Rangga berteriak pada kedua orangtuanya.
Ternyata, Nadia adalah anak seorang wanita yang selama ini ia anggap sebagai tantenya. Nadia diadopsi oleh orangtua Rangga karena saat itu kedua orangtua Rangga susah memiliki keturunan. Nadia diadopsi semenjak bayi, dan setelah mengadopsi Nadia, ternyata Ibu Rangga langsung positif hamil. Itulah sebabnya Rangga dan Nadia tak berbeda jauh umurnya, karena waktu Nadia berusia 9 bulan, Rangga dilahirkan oleh Ibunya. Mendengar penjelasan Ibunya, Rangga seakan-akan tak percaya. Ternyata, orang yang selama 16 tahun ini ia anggap sebagai kakak kandungnya adalah sepupunya sendiri. Ia berteriak-teriak seperti orang yang kehilangan kendali seraya berkata, “Ibu bohong”.
Dalam waktu yang sama, Ayah Rangga menelepon kakak iparnya yang merupakan ibu kandung Nadia. Ia mengatakan bahwa Nadia sedang membutuhkan darah Ibu kandungnya karena telah mengeluarkan banyak darah pasca kecelakaan yang telah menimpanya. Nadia mengalami tragedi naas itu ketika sedang dibonceng oleh gurunya. Sepeda motor yang sedang dikendarai gurunya itu tertabrak oleh angkot hingga menyebabkan nadia terapung keatas angkot dan mendarat di jalan raya.
Ibu kandung Nadia langsung menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung mendonorkan darahnya untuk anak kandungnya yang telah terpisah selama 16 tahun darinya. Betapa sakitnya hati Ibu kandung Nadia saat itu, ia hanya bisa melihat anaknya yang masih belum sadarkan diri dari kaca ruang ICU.
“Tante, ku mohon jangan ambil kakak dariku. Aku sangat menyayanginya. Dia kakak terbaik bagiku, meski sekarang aku telah mengetahui kebohongan Ayah dan Ibu selama 16 tahun ini”, ucap Rangga pada tantenya sambil menangis yang belum pernah berhenti semenjak tiba di Rumah sakit. Mendengar keponakannya bicara seperti itu, Ilah (tantenya Rangga) hanya bisa mengeluarkan air mata sambil memeluk Rangga.
“Angga, Angga..”. terdengar suara Nadia dari ruangan tempat ia dirawat. Mendengar kakaknya memanggilnya, Rangga langsung masuk, diikuti oleh tantenya. “Angga, kakak masih hidup kan”? Candaan Nadia sembari tersenyum. “tentu saja kakakku sayang”, jawab Rangga sambil menahan tangis. “lho, ko ada tante disini?Ayah dan Ibu mana tan?”, tanya Nadia lagi. Hampir saja Rangga mengatakan yang sebenarnya terjadi 16 tahun ini pada kakaknya. Tapi kedatangan Ayah dan Ibunya membuat Rangga mengurungkan niatnya itu. Mereka langsung memeluk Nadia sambil menangis. “aku baik-baik saja ko Bu, Yah”, ucap Nadia.
Tak kuat melihat kebersamaan Nadia dengan adiknya, Ibu kandung Nadia akhirnya pamit pulang. Sebelum pulang, ia memeluk Nadia dengan erat sekali. Nadia merasakan pelukan yang belum pernah ia raskaan sebelumnya saat itu. Petir mendadak menggelegar ketika mereka berpelukan. Nadia merasa sangat aneh sekali, getaran-getaran pelukan itu membuat hatinya seakan-akan tertusuk. “semoga cepeet sembuh ya saya... hmm Nad!”, bisik Ilah pada anak kandungnya. Rangga langsung nangis dan lari keluar melihat tantenya memeluk Nadia dengan waktu yang cukup berdurasi. Sedangkan Ayah dan Ibunya hanya bisa menundukkan kepala, karena mereka tak ingin airmatanya keluar dan membuat Nadia curiga.
Melihat Rangga terisak-isak menangis di ruang tunggu, sebelum melangkahkan kaki untuk menuju lif, Ilah mencoba menenangkannya dengan berkata, “hapus air matamu sayang, tante tak akan merebut kakak dari hidup kamu. Nadia akan tetap menjadi kakak kamu selamanya”. Rangga tak menjawab perkataan tantenta, ia hanya bisa mencium tangan tantenya sambil menangis, dan terus menangis walaupun matanya telah memerah.
Setelah dua minggu dirawat di Rumah sakit, akhirnya Nadia diizinkan untuk pulang oleh dokter. Nadia tampak bahagia sekali. Sepanjang jalan, ia terus menggoda Ayahnya yang menyetir mobil, dan terus bercanda dengan Rangga yang ia anggap sebagai adik kandungnya. Sesampainya di rumah, mereka berempat langsung istirahat ke kamar masing-masing. Rangga mengantarkan kakaknya ke kamar. Sebelum menutup kamar kakaknya, Rangga berkata,”aku sayang banget kak sama kamu, aku ga mau kehilangan kamu”. Sambil ketawa Nadia hanya menjawab, “jangan ngigau ah”.
Esok harinya hujan turun begitu deras sekali.  Ayah dan Ibu Nadia dan Rangga pamit kepada kedua anaknya. Mereka harus pergi ke Jakarta untuk mengurus keperluan bisnis. Ayah yang biasanya tak didampingi Ibu kali ini berangkat berdua. “jangan lupa minum obat ya sayang”, ucap Ibunya pada Nadia. “jaga kakakmu baik-baik. Ayah dan Ibu nanti malam pulang”. Pangkas Ayahnya pada Rangga. Serempak Nadia dan Rangga memninta oleh-oleh pada kedua orangtuanya. Kedua orangtua mereka hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.
“kakak, aku izin dulu ya mau ke rumah temen. Buku PR aku soalnya dipinjem dan belum dikembaliin. Gak lama kok!”, Rangga izin keluar rumah pada kakaknya. “Ia sayang, hati-hati”. Jawab Nadia. Saat itu Rangga keluar dari rumah tepat ketika hujan sudah mulai reda.
Berjam-jam Nadia sendirian di rumah. Rangga yang izin keluar sebentar ternyata mengirim sms yang isinya mengatakan bahwa dia main futsal dulu sama teman-temannya.
Tepat jam 7 malam, Rangga dan kedua orangtuanya tiba di rumah dalam waktu yang sama. Rangga yang langsung masuk ke kamar Nadia dengan senyuman, akhirnya keluar dengan tangisan. Ayahnya yang tampak cape pun heran. Rangga menangis sambil membaca surat yang ditulis oleh Nadia. Ternyata.. Nadia telah mengetahui kebohongan orangtuanya selama 16 tahun. Ia menemukan surat bukti donor darah dari Ibu kandungnya ketika ia kecelakaan. Ia juga menemukan berkas-berkas golongan darah di kamar Ibunya. Kini Nadia telah pergi entah kemana, yang jelas dalam suratnya ia mengatakan bahwa “ ternyata darah yang mengalir ditubuhku ini adalah darah palsu”. Ia juga meminta supaya Rangga dan kedua orangtuanya tidak mencarinya.
Mendengar itu semua, Ibu Rangga pingsan. Kekacauan semakin bertambah, dan kesedihan semakin bertubi-tubi. Semenjak kepergian Nadia, semua penghuni rumah tampak murung setiap hari, dan Ibu Rangga sering sakit-sakitan. Selain itu, Rangga dan Ayahnya juga jadi kehilangan semangat untuk makan, hingga akhirnya tubuh mereka menciut dalam jangka waktu seminggu.
Tepat jam 12 malam di malam Minggu, Rangga menerima sms dari tantenya. Tantenya mengatakan bahwa Nadia ada di rumahnya dan Nadia telah mengetahui semuanya. Rangga juga sebenarnya sudah menduga bahwa Nadia kabur ke rumah Ibu kandungnya. Apalah daya, Rangga tak bisa berbuat apa-apa. Ia terlalu takut menemui Nadia, meskipun tantenya berulang kali sms menyuruhnya main ke rumah.
Ilah menceritakan keadaan keluarga Rangga pada Nadia. Mendengar itu semua, Nadia nangis. Tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia juga masih kecewa pada Ayah dan Ibu Rangga. Kini Nadia memanggil Ilah dengan sebutan Mama. Ia memang tampak bahagia dengan Ibu kandungnya, tapi matanya tak bisa berbohong, ia tetap terlihat menyimpan berjuta-juta kesedihan. Hingga pada suatu hari, Mamanya mengajaknya untuk belanja sambil makan-makan ke mall. Nadia menerima ajakan Mamanya itu.
Saat Nadia dan Mamanya sedang makan di tempat favorit Nadia dan keluarganya yang dulu, tiba-tiba Rangga dan kedua orangtuanya datang dengan wajah-wajah pucat. Mereka diundang oleh Mama Nadia untuk makan bersama. Awalnya Nadia selalu memalingkan muka, tapi saat Rangga nangis, Nadia tak kuasa bersikap seperti itu. Ia langsung merangkul Rangga sambil berkata bahwa sebenarnya ia kangen dan sayang sekali pada Rangga. Ia juga minta maaf karena sudah 2 minggu tak memberikan kabar pada keluarganya yang dulu. Tapi hal yang paling mengejutkan sekaligus menyakitkan, Nadia memanggil Ayah dan Ibunya dengan sebutan Paman dan Bibi. Ia merasa malu untuk memanggil Ayah dan Ibu lagi seperti dahulu. Walaupun begitu, orangtua Rangga tetap bahagia karena Nadia ternyata masih sudi untuk berbicara dengan mereka. Makan siang hari itu benar-benar menegangkan. Disitulah semuanya saling minta maaf atas kesalahan masing-masing. Hingga pada akhirnya, Nadia berkata, “ aku sayang Ayah, Ibu, Angga, dan juga Mama”.