MAKALAH
SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU DI INDONESIA
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Sistem Politik
Indonesia
Dosen :
Drs. Cecep Suryana, M.Si
Disusun
oleh:
Fahmi Islami 1211405049
Hera Erawan 1211405060
Irjayatni Nurul Aeini 1211405072
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PRODI ILMU
KOMUNIKASI JURNALISTIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012
Kata
Pengantar
Bismillahirrahmanirrahiim
,
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
SWT yang telah memberikan ramat dan karunianya kepada kita semua yaitu berupa
nikmat iman dan nimat sehat yang tiada bandingannya. Penyusun juga sangat
bersyukur sekali karena Allah telah membertikan waktu yang sangat berarti
kepada penyusun untuk menyelesaikan makalah kelompok ini dengan tepat waktu.
Semoga salawat serta salam selamanya tercurah limpahkan kepada Nabi SAW. Amin.
Di sisi lain, penyusun juga berterima
kasih kepada dosen pengajar matakuliah Sistem Politik Indonesia Drs. Cecep
Surya., M.Si yang telah memberikan kesempatan kepada penyusun untuk membuat
makalah “Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia”. Ucapan terimakasih juga
tertuju kepada semua pihak yang telah terlibat dan menjadi pendukung
terselesaikannya makalah ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini
yaitu untuk memenuhi salah satu tugas kelompok matakuliah Sistem Politik
Indonesia serta untuk mendeskripsikan sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia
guna memudahkan para pembaca untuk memahaminya kelak. Makalah ini memang sangat
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik yang
konstruktif dari para pembaca.
Harapan penyusun, semoga makalah ini
mendapatkan penilaian yang baik serta memberikan manfaat kepada semua pihak,
khususnya kepada para penysun. Amin.
Bandung, September 2012
Penyusun
Daftar
Isi
Kata
Pengantar........................................................................................... i
Daftar Isi..................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................. 1
Latar
Belakang.......................................................................................... 1
Rumusan
Masalah................................................................................... 2
Tujuan
Penulisan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
Definisi Sistem
Kepartaian.......................................................................... 3
Sistem Kepartaian Negara
Indonesia.......................................................... 3
Kelebihan dan Kekurangan Sistem
Kepartaian Indonesia.......................... 5
Upaya Penyelesaian atas
Ketidakefektifan Sistem Pemerintahan yang dianut Negara
Indonesia........................................................................................ 8
Sistem Pemilu di
Indonesia.......................................................................... 9
BAB III
PENUTUP........................................................................................ 16
Kesimpulan.................................................................................................. 16
Saran............................................................................................................ 17
Daftar
Pustaka............................................................................................. 18
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dari beberapa hasil studi
menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini memiliki partai. Tak
terkecuali negara-negara yang tergolong sebagai negara berkembang. Partai telah
diyakini sebagai komponen penting dalam sistem pemerintahan buat membangun
sistem politik yang demokratis. Dengan adanya politik partai diharapkan semua
aspirasi rakyat yang heterogen dapat terakomodasi secara proporsional lewat
pemilu. Melalui hasil pemilu roda pemerintahan dijalankan untuk mencapai negara
sejahtera (welfare state) seperti yang dicita-citakan. Tetapi dalam banyak
kasus terutama di negara berkembang keberadaan partai justru telah menimbulkan
pemerintahan yang tidak efektif, inefisien, bahkan tidak jarang menimbulkan
chaos. Lain halnya di negara maju (developed countries) sistem kepartaian di
negara ini sudah mapan, terdiri dari dua partai, seperti USA dan Kanada atau
beberapa partai seperti, Italia dan Perancis. Di Indonesia sistem kepartaian
mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada era pasca revolusi sistem kepartaian
mengalami masa boom partai. Tetapi banyaknya partai justru menjadikan
instabilitas di semua sektor. Reformasi partai politik dimulai pada masa Orde
Baru dengan melakukan fusi dari multi partai menjadi beberapa partai dan
mengurangi kekuatan partai dengan floating mass dengan dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975. Sedangkan pada tahun 1999 terdapat 48 partai
politik yang berhak mengikuti pemilihan umum.
Pemilu dengan partai
politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Pemilu membutuhkan
partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai politik membutuhkan
pemilu sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif
maupun kabinet. Meskipun partai politik sudah ada sejak sebelum kemerdekaan
tetapi pemilu di Indonesia baru dilaksanakan pada tahun 1955. Pada masa itu
digunakan sistem multi partai dan sistem perwakilan berimbang atau
proporsional. Dalam prakteknya sistem ini justru menimbulkan distorsi dan
friksi. Terbukti dari tidak bertahan lamanya kabinet yang dibentuk dan sering
terjadi konflik. Kondisi ini menjadikan pemerintah pada waktu itu tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Setelah dilakukan reformasi dan
dilaksanakannya Pemilu 1971 fungsi pemerintah berjalan normal. Barometer
kesuksesan pelaksanaan Pemilu 1971 dipakai acuan untuk Pemilu selanjutnya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan sistem kepartaian?
2.
Bagaimana
perkembangan sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia?
3.
Bagaimana
sistem pemilu di Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mendeskripsikan
sistem kepartaian
2.
Mendeskripsikan
perkembangan sistem kepartaian Indonesia
3.
Mendeskripsikan
pelaksanaan pemilu di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Sistem
Kepartaian
1. Ramlan Surbakti (1992)
Sistem kepartaian merupakan pola perilaku &
interaksi di antara sejumlah partai politik dalam suatu sistem politik
2.
Austin
Ranney (1990)
Istilah sistem kepartaian mengacu pada pemahaman thd
karakteristik umum konflik partai (interaksi) dlm lingkungan di mana dia
berkiprah yg bisa diklasifikasikan menurut beberapa kriteria.
3.
Riswandha
Imawan (2004)
Pola interaksi antar partai politik dlm satu sistem
politik yg menentukan format & mekanisme kerja satu sistem pemerintahan
4.
Hague &
Harrop (2004)
Interaksi antar parpol-2 yg signifikan (perolehan suaranya). Dlm neg.
demokrasi, partai-2 saling merespon satu sama lain dlm persaingan yg
kompetitif. Sistem kepartaian juga mrefleksikan regulasi legal yang berlaku
bagi semua partai.
B. Sistem
Kepartaian Negara Indonesia
Konsititusi kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan
secara jelas sistem kepartaian apa yang harus diimplementasikan. Meskipun
demikian konstitusi mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem
multi partai. Pasal tersebut adalah pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut
sistem multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan
wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata
“gabungan partai poltitik” artinya paling sedikit dua partai politik yang
menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk bersaing dengan calon
lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan demikian dari pasal
tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat
tiga partai politik.
Kenyataanya, Indonesia telah menjalankan sistem
multi partai sejak Indonesia mencapai kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil
Presiden M. Hatta No X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multi
partai di Indonesia. Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk mempersiapkan
penyelenggaraan pemilu yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut
diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen (perseorangan).
Beberapa partai politik yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama
antara lain PNI (22,32%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII
(2,89%), Parkindo (2,66%), PSI (1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan IPKI
(1,43%).
Sejak Suharto menjadi presiden pada tahun 1967
partai politik dianggap sebagai penyebab dari ketidakstabilan politik yang
terjadi pada tahun 1950an - 1960an. Oleh karena itu agenda yang penting untuk
menciptakan pemerintahan yang stabil adalah melakukan penyederhanaan partai
politik. Pada pemilu pertama di masa Orde Baru, tahun 1971, terdapat 10 partai politik, termasuk partai pemerintah (Golkar)
ikut berkompetisi memperebutkan kekuasaan. Pada tahun 1974 Presiden Suharto
melakukan restrukturisasi partai politik, yaitu melakukan penyederhanaan partai
melalui penggabungan partai-partai politik. Hasil dari restrukturisasi partai
politik tersebut adalah munculnya tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI).
PPP merupakan hasil fusi dari beberapa partai politik yang berasaskan Islam
(NU, Parmusi, PSII dan Perti). PDI merupakan hasil penggabungan dari
partai-partai nasionalis dan agama non-Islam (PNI, IPKI, Parkindo, Katolik).
Sedangkan Golkar adalah partai politik bentukan pemerintah Orde Baru.
Meskipun dari sisi jumlah partai politik yang
berkembang di Indonesia pada saat itu, Indonesia dikategorikan sebagai negara
yang menganut sistem multi partai, banyak pengamat politik berpendapat bahwa
sistem kepartaian yang dianut pada era Orde Baru adalah sistem partai tunggal.
Ada juga yang menyebut sistem kepartaian era Orde Baru adalah sistem partai
dominan. Hal ini dikarenakan kondisi kompetisi antar partai politik yang ada
pada saat itu. Benar, jika jumlah partai politik yang ada adalah lebih dari dua
parpol sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem multi partai. Namun jika
dianalisis lebih mendalam ternyata kompetisi diantara ketiga partai politik di
dalam pemilu tidak seimbang. Golkar mendapatkan “privelege” dari
pemerintah untuk selalu memenangkan persaingan perebutan kekuasaan.
Gerakan reformasi 1998 membuahkan hasil
liberalisasi disemua sektor kehidupan berbangasa dan bernegara, termasuk di
bidang politik. Salah satu reformasi dibidang politik adalah memberikan ruang
bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik yang dianggap mampu
merepresentasikan politik mereka. Liberalisasi politik dilakukan karena partai
politik warisan Orde Baru dinilai tidak merepresentasikan masyarakat Indonesia
yang sesungguhnya. Hasilnya tidak kurang dari 200 partai politik tumbuh di
dalam masyarakat. Dari ratusan parpol tersebut hanya 48 partai yang berhak
mengikuti pemilu 1999. Pemilu 1999 menghasilkan beberapa partai politik yang
mendapatkan suara yang signifikan dari rakyat Indonesia adalah PDI.Perjuangan,
P.Golkar, PKB, PPP, dan PAN.
Peserta pemilu tahun 2004 berkurang setengah
dari jumlah parpol pemilu 1999, yaitu 24 parpol. Berkurangnya jumlah parpol
yang ikut serta di dalam pemilu 2004 karena pada pemilu tersebut telah
diberlakukan ambang batas (threshold). Ambang batas tersebut di
Indonesia dikenal dengan Electoral Threshold. Di dalam UU No 3/1999
tentang Pemilu diatur bahwa partai politik yang berhak untuk mengikuti pemilu
berikutnya adalah partai politik yang mendapatkan sekurang-kurangnya 2% jumlah
kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas tersebut dapat
mengikuti pemilu berikutnya harus bergabung dengan partai lain atau membentuk
partai politik baru.
Kalau pemilu 1999 hanya menghasilkan lima parpol
yang mendapatkan suara signifikan dan mencapai Electoral Threshold (ET).
Meskipun persentasi ET dinaikan dari 2% menjadi 3% jumlah kursi DPR, Pemilu
2004 menghasilkan lebih banyak partai politik yang mendapatkan suara signifikan
dan lolos ET untuk pemilu 2009. Pemilu 2004 menghasilkan tujuh partai yang
mencapai ambang batas tersebut. Ketujuh partai tersebut adalah P.Golkar, PDI.
Perjuangan, PKB, PPP, P.Demokrat, PKS, dan PAN.
C. Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Kepartaian
Klasifikasi sistem kepartaian jika dilihat dari
segi komposisi dan fungsi keanggotaannya maka partai politik dapat dibagi
menjadi dua jenis; partai massa dan partai kader. Jika dilihat dari segi sifat
dan orientasinya partai politik dibagi dua jenis; partai lindungan dan partai
ideologi atau azas. Di dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik yang ditulis Prof.
Miriam Budiardjo sistem klasifikasi kepartaian yang lebih banyak digunakan
dalam ranah demokrasi yakni :
·
Sistem Partai Tunggal
·
Sistem Dwi Partai
·
Sistem Multi Partai
1. Sistem Partai Tunggal
Sitem partai tunggal ini merupakan satu-satunya
partai dalam suatu negara, maupun partai yang mempunyai kedudukan dominan
diantara beberapa partai lainnya. Pola partai tunggal terdapat dibeberapa
negara Afrika (Ghana dimasa Nkrumah, Guinea, Mali, Pantai Gading), Eropa Timur
dan RRC. Suasan kepartaian dinamakan non-kompetitif oleh karena itu
partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan
tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu.
Sistem partai tunggal mengandung
kelemahan-kelemahan dalam parkteknya antara lain:
Sistem partai tunggal tidak pernah akan menjamin adanya perlindungan
terhadap HAM, mengingat didalam sistem ini selalu berbarengan dengan sistem
kediktatoran dimana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif berada pada
satu tangan sehingga pelaksanaan kekuasaannya itu berlaku sewenang-wenang.
Kecenderungan lain adalah sistem partai tunggal ini terkadang membawa bencana
bagi kelangsungan demokrasi baik bagi rakyat, bangsa, maupun negara. Hal ini
bisa dilihat dinegara-negara komunis. Demikian pula halnya sistem partai
tunggal yang berdasarkan pada azas fasisme seperti Italia Musolini dan faham
Naziisme seperti Jerman Hitler.
1) Tidak
tercapainya perwujudan masyarakat yang sejahtera. Hal ini bisa dilihat pada
pemerintahan Khmer Merah Kheu Sampan di Kamboja atau Pemerintahan Mao Tse Tung
di Cina dimana rakyat banyak yang sengsara.
2)
Tidak adanya sistem kontrol sosial.
3)
Sistem partai tunggal tidak mengakui doktrin-doktrin politik demokrasi yang
berlaku dinegara-negara liberal ataupun negara demokrasi lainnya.
4)
Sistem partai tunggal tidak mengakui adanya konstitusi yang bersifat
filsafat negara demokratik, struktur organisasi negara, perubahan terhadap
konstitusi negara dan hak azasi manusia.
5)
Sistem partai tunggal tidak mengakui adanya kebebasan pers.
6)
Rakyat tidak mempunyai pilihan lain dalam mengemukakan pendapat dan
hak-haknya.
2. Sistem Dwi Partai
Sistem dwi partai atau dua partai merupakan
adanya dua partai dalam sebuah negara atau pemerintahan atau adanya beberapa
partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai. Partai-partai ini terbagi
kedalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilu) dan partai oposisi
(karena kalah dalam pemilu).
Sistem dwi partai biasa disebut dengan istilah
“a convenient system for contented people” dan memang kenyataannya sistem dwi
partai dapat berjalan dengan baik apabila terpenuhi tiga syarat; komposisi
masyarakat adalah homogen, konsesus dalam masyarakat mengenai azas dan tujuan
sosial yang pokok adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah.
Negara-negara yang menganut sistem dwi partai
ini adalah Inggris dengan partai Buruh dan partai konservatifnya, Amerika
dengan partai Republik dan partai Demokrat, Jepang, dan Kanada. Sistem dwi partai
umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan distrik (single-member
constituency) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu
wakil saja. Sistem dwi partai ini mempunyai kecenderungan untuk menghambat
pertumbuhan dan perkembangan partai-partai kecil.
Kelebihan sistem dwi partai ini antara lain:
1) Dalam sistem
distrik suara pemilu yang dihasilkan selalu suara mayoritas,
2)
Terwujudnya stabilitas pemerintahan yang dapat berjalan sesuai dengan kurun
waktu yang telah ditetapkan,
3)
Pergantian pemerintahan dalam sistem ini dengan pemilu sistem distrik
cenderung berjalan normal,
4)
Program-program pemerintah dapat berjalan dengan baik,
5)
Adanya keterikatan pada konstitusi negara.
3. Sistem Multi Partai
Sistem multi partai adalah adanya partai-partai
politik yang lebih dari dua partai dalam sebuah negara atau pemerintahan.
Sistem ini banyak dianut oleh negara-negara seperti Indonesia, Malaysia,
Belanda, Perancis, Swedia, dsb. Sistem ini lebih menitikberatkan peranan partai
pada lembaga legislatif sehingga peranan badan eksekutif sering lemah dan
ragu-ragu. Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada satu partai yang cukup kuat
untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi
dengan partai-partai lain.
Beberapa kelemahan sistem multi partai ini antara lain:
1) Pemerintahan
selalu dalam keadaan tidak stabil,
2)
Program-program pemerintah kurang berjalan dengan efektif,
3)
Ideologi partai politik tidak lagi melandasi konstitusi negara atau
falsafat hidup suatu bangsa, Sistem ini cenderung lamban dalam mengembangkan
pertumbuhan ekonomi makro maupun mikro,
4)
Sistem ini mengurangi fungsi nasionalisme dalam suatu negara,
5) Sistem ini
belum pernah melahirkan negara yang super power.
Sedangkan kelebihan dari
sistem multi partai adalah:
1) Setiap
individu diberikan kesempatan menjadi pimpinan sebuah partai politik,
2)
Kontrol sosial lebih banyak terjadi dilakukan oleh partai-partai politik,
3)
Sistem ini memberikan alternatif banyak pilihan pada warga negara.
4)
pilihan pada warga negara.
D. Upaya
Penyelesaian atas Ketidakefektifan Sistem Kepartaian yang Dianut oleh Negara
Indonesia
Tujuan utama penataan sistem politik Indonesia
ditujukan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil maka ada
beberapa alternatif jawaban yang patut dipertimbangkan oleh para pembuat
kebijakan. Beberapa alternatif tersebut adalah sebagai berikut;
1) Mengubah Sistem Presidensial menjadi Sistem Parlemen
2)
Mengubah Sistem Kepartaian
3)
Mengurangi Jumlah Partai Politik
4)
Menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Legislatif
secara Bersama-sama (Concurrent Elections)
E.
Sistem Pemilu di Indonesia
1.
Aturan Pemilu berdasarkan ketetapan
MPR
Bab tentang pemilihan umum
merupakan bab baru dalam undang-undang dasar negara republik indonesia tahun
1945. Rumusannya sbb :
BAB VII B PEMILU Pasal 22E
1)
Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil setiap
lima tahun sekali
2)
Pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wapres dan DPRD
3)
Peserta
pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol
4)
Peserta
pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan
5)
Pemilu
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri.
6)
Ketentuan
lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang
Adanya ketentuan mengenai pemilihan
umum (pemilu) dalam perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi pemilu
sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat, yang sesuai dengan
bunyi pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Dengan adanya ketentuan ini
didalam undang-undang dasar negara RI tahun 1945, maka lebih menjamin waktu
penyelenggaraan pemilu secara teratur per lima tahun ataupun menjamin proses
dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu yaitu langsung, umum,
bebas, rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil). Sebagaimana dimaklumi
pelaksanaan pemilu selama ini belum diatur dalam UUD.
Selain mengatur pemilu yang tercantum
dalam bab VIIB tentang pemilu, UUD Negara RI tahun 1945 juga mengatur pemilu
untuk presiden/wapres dan legislatif yakni pasal 6A mengatur mengenai pemilihan
presiden dan wakil presiden, pasal 19 ayat (1) mengatur pemilihan anggota DPR,
serta pasal 22C ayat (1) yang mengatur pemilihan anggota DPR.
UUD negara RI tahun 1945 menegaskan
bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai pemilu dilakukan dengan undang-undang.
Hal itu berarti kepentingan dan aspirasi rakyat juga diwadahi undang-undang
melalui wakil-wakilnya di DPR. Ketentuan itu juga merupakan suatu pelaksanaan
saling mengawasi dan saling mengimbangi antara presiden dan DPR.
2. Sistem
Pemilu di Indonesia
Sistem pemilihan umum adalah salah satu instrumen kelembagaan penting di
dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan 3 (tiga) syarat yakni :
adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, adanya
partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Untuk
memenuhi persyaratan tersebut diadakanlah sistem pemilihan umum,
dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik bisa
terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti instrumen
untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang
di menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di bagi menjadi dua kelompok
yakni
1)
Sistem
distrik ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil )
Didalam sistem distrik, satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas
dasar suara terbanyak. Sistem distrik memiliki variasi, yakni :
- firs past the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan pemilihan yang berpusat pada calon, pemenagnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
- the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
- the alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking terhadap calon-calon yang ada.
- block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
2)
Sistem
proporsional ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
Dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil. prinsip utama
di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam pemilu oleh
peserta pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara
proporsional, sistem ini menggunakan sistem multimember districts. ada
dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;
- list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
- the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota.
Perbedaan pokok antara sistem distrik dan proporsional adalah bahwa cara
menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi
perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak
kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut
oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional,
adanya usulan sistem pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan,
ternyata di tolak. Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap menggunakan sistem
proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih
pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di
Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di
pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok
kecil. Disamping itu sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang terdapat
dalam UU Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para wakil yang duduk di DPR. Para
wakil tersebut berpandangan bahwa sistem proporsional itu lebih menguntungkan
dari pada sistem distrik. Sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem
pemilihan umum di Indonesia bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. hal
ini tak lepas dari realitas yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa
mengubah sistem pemilu itu merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu
dapat memungkinkan jika terdapat perubahan politik yang radikal. Di Indonesia
sendiri sistem Proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari
perubahan proporsional tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka
dan sistem proporsional daftar terbuka.
Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat perubahan
terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem
proporsional di indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi
daftar terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu
1999 dengan masa orde baru. pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah
provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu
provinsi, sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun
sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta
pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi
tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten
/kota. Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah
yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu
provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau,
Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara dan
Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat.
masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009
besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain
berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada pemilu 1999 dan orde baru
para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. pada tahun 2004 para
pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos
calonnya. hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa
yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda
di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi
pemilih (BPP), dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena
penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D
tidak didasarkan para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan
nomor urut, kalupun di luar nomer urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada dasarny merupakan hasil
sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002, PDIP,
GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar terbuka, dikarenakan penetuan
caleg merupakan hak partai peserta pemilu. memang jika diberlakukannya sistem
daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di dalam menyeleksi caleg mana
saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D. tetapi tiga partai itu akhirnya
menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak terbuka secara bebas
melainkan setengah terbuka. perubahan-perubahan disain kelembagaan seperti itu
pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti. ada beberapa penyebab
diantaranya yaitu : pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih
tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih calon yang ada di
dalam daftar pemilih karena lebih mudah. selain itu, di lihat dari tingkat
keterwakilan masih mengandung masalah. permasalahan ini khususnya berkaitan
dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/D kepada
partai-partai. di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu
dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. mengingat sistem. hal ini
terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan
adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara
kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3
kursi. implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di
bawah rata-rata BPP nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP
nasional.
Memingat sistem pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit
perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk
melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. kalau pada pemilu 2004 sudah
dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu selanjutnya usulan
digunakannya sistem daftar terbuka. di dalam sistem ini digunakan nomor urut di
dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana yang
mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang
memenuhi BPP yang di jadikan ukuranya adalah calon yag memperoleh suara
terbanyak. Presiden SBY termasuk yang pernah mengusulkan sistem demikian
sebagaimana dijelaskan oleh Andi sistem ini baik untuk partai karena semua calon
akan berkerja keras untuk partainya. rakyat juga mendapatkan pilihan yang
jelas. sebab siapa yang paling banyak mendapat sura akan masuk ke parlemen
tanpa memakai nomer urut yang keriterianya tidak sering jelas dan menjadi
sumber politik uang. sistem ini juga mendapat dukunagn dari PAN akan tetapi
PDIP menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan
nomer urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap
mendeligitimasi keberadaan partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR)
menurutnya sistem terbuka tanpa nomer urut dapat di lakukan secara teoritis
tapi sulit praktiknya. perdebatan smacam itu telah di selesaikan di dadal UU
pemilu No 10 tahun 2008. UU ini merupakan aturan dasar untuk pemilu 2009 di
dalam UU ini memang disebutkan bahwa pada pemilu 1999 Indonesia menganut sistem
daftar terbuka. tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut sistem semi daftar
terbuka. hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh suara
terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil. tapi
yang membedakan dengan pemilu 2004 adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang
memperoleh suara min 30% dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai di dalam
perolehan porsi meskipun tidak berada di nomer urut jadi. di samping itu pemilu
2009 juga memperkuat tuntutan pemberian kepada perempuan semua partai wajib
menyertakan calon perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus
perempuan. tetapi aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas
manakala ada partai-partai yang melanggarnya.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10 tahun 2008 mengalami
perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan tentang suara
terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada partai-partai yang
memperoleh kursi. keputusan ini menjadikan sistem pemilu di Indonesia
benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional daftar terbuka. Calon
yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi anggota DPR/D
dari partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat dari
perubahan-perubahan itu, pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu selanjutnya
memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. pertama, kompetisi partai semakin
kuat seiring di berlakukannya parliementary thresholdparliementary threshold
adalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan
di tingkat pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah dandi pemilu.
hasil pemilu 2009 menunjukan 9 partai yang mendapat kursi di DPR karena lolos parliementary
threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki kursi di
DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini dikarenakan ketentuan PT hanya
berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas ini memperkuat pandangan bahwa
aturan main di dalam sistem pemilu itu mewakili implikasi yang cukup besar pada
alokasi kursi atau perwakilan dan kekuatan-kekuatan politik yang ada. dan
pengecilan besaran Daftar pilih untuk pemilu anggota DPR. Kedua, kompitisi
internal partai semakin tinggi. Kompitisi akhir ini mencangkup kompitisi
antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar calon laki-laki dan perempuan.
Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah pengalokasian kursi menggunakan
mekanisme (suara terbanyak). Kompetisi antar partai dan antar calon di internal
partai itu lebih mengemuka lagi karena kurun waktu kampanye berlangsung lebih
lama, setelah ditetapkannya partai peserta pemilu partai dan calon bisa
langsung melaksanakan kampanye dialogis, dan sebagai konsekuensi di
berlakukannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemilu dengan partai politik merupakan
dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Pemilu membutuhkan partai politik
sebagai kontestannya. Sedangkan partai politik membutuhkan pemilu sebagai
sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet.
Dari beberapa hasil studi menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini
memiliki partai. Tak terkecuali negara-negara yang tergolong sebagai negara
berkembang, Indonesia. Partai telah diyakini sebagai komponen penting dalam
sistem pemerintahan buat membangun sistem politik yang demokratis. Dengan
adanya politik partai diharapkan semua aspirasi rakyat yang heterogen dapat
terakomodasi secara proporsional lewat pemilu. Melalui hasil pemilu roda
pemerintahan dijalankan untuk mencapai negara sejahtera (welfare state) seperti
yang dicita-citakan. Di Indonesia sistem kepartaian mempunyai sejarah yang
cukup panjang. Pada era pasca revolusi sistem kepartaian mengalami masa boom
partai. Tetapi banyaknya partai justru menjadikan instabilitas di semua sektor.
Reformasi partai politik dimulai pada masa Orde Baru dengan melakukan fusi dari
multi partai menjadi beberapa partai dan mengurangi kekuatan partai dengan
floating mass dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975. Sedangkan
pada tahun 1999 terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti
pemilihan umum.
Di
Indonesia, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud konkret
kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam
penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu
itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik
terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu
instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas LUBER dan
JURDIL yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan
Adil.
Pemilihan umum sering dikatakan
sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran dalam
pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih
wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Dalam ilmu politik ada dua
prinsip utama pelaksanaan sistem pemilihan umum, yakni pemilihan umum
menggunakan sistem distrik dan proporsional atau sistem perwakilan berimbang.
Pada sistem distrik jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan berdasarkan jumlah
distrik. Setiap distrik mempunyai satu wakil dari masing-masing parpol
kontestan pemilu. Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang suatu negara
dipecah-pecah ke dalam suatu daerah pemilihan. Setiap daerah memilih sejumlah
wakil sesuai dengan jumlah penduduk yang ada dalam daerah pemilihan tersebut.
Jumlah wakil yang akan duduk di DPR tergantung dari perolehan suara hasil
pemilu. Baik sistem distrik maupun proporsional keduanya mempunyai kelebihan
dan kekurangan.
B. Saran
1. Bagi
Pemerintah
Pemerintah yang berperan sebagai penampung dan
pelaksana aspirasi rakyat sebaiknya lebih peka terhadap berbagai permasalahan
yang dihadapi, sehingga ketidakstabilan perpolitikan dan
kepentingan-kepentingan golongan di pemerintahan akan terminimalisir .
2. Bagi
Mahasiswa
Sebagai “agent of change” setiap mahasiswa harus lebih peka terhadap
perkembangan perpolitikan dan pemilu di negara
Indonesia, sehingga mahasiswa dapat memahami dan menelaah permasalahan tersebut
sehingga akan memunculkan solusi cerdas untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang terjadi di negara Indonesia.
C. Referensi
Budiarjo,Miriam. Dasar – Dasar Ilmu
Politik 2007. Jakarta: PT. Ikrar Mandidrabadi
terima kasih atas ilmunya.. sangat bermanfaat sekali nih tenang kepartaian indonesia
BalasHapusMakasih banyak... Tulisannya membantu saya dalam menambah wawasan mengenai sistem kepartaian.. Semangat berkarya!!!
BalasHapus